Selasa, 23 Februari 2010

Menelusuri Jejak Sejarah SUMEDANG


Sumedang merupakan kota yang identik dengan tahu, ya, jika seseorang menyebut nama kota ini maka yang akan langsung teringat adalah tahu goreng yang memang menjadi salah satu oleh-oleh terkenal dari Sumedang. Namun jangan salah sangka di Sumedang ini kita juga bisa berwisata di beberapa situs sejarah.
Perjalanan ke Sumedang tidak bisa dikatakan terlalu jauh.dari Kota Bandung, jaraknya hanya sekitar 45 km. Ada beberapa pilihan angkutan umum jika anda ingin bepergian ke Sumedang dari kota Bandung. Anda bisa menggunakan bis jurusan Bandung – Cirebon dari terminal Cicaheum dengan ongkos tak lebih dari Rp. 10.000,00, atau Anda bisa menggunakan bis kota jurusan Dipati Ukur – Jatinangor atau Kebon Kalapa-Tanjungsari lalu turun di tempat pemberhentian bis kota dan naik angkutan umum berwarna coklat jurusan Cileunyi-Sumedang.
Penelusuran jejak sejarah ke Sumedang sebetulnya sudah dimulai sejak masih dalam perjalanan. Di jalan menuju Sumedang ada sebuah jalan yang bernama Cadas Pangeran, jalan yang memiliki tikungan tajam ini juga memiliki cerita perjuangan tersendiri.
Pada tahun 1800, ketika Gubernur Jenderal Daendels datang untuk mengontrol jalan raya Anyer-panarukan yang melewati tempat tersebut, mengajak Bupati Sumedang Pangeran Kusumadinata IX, yang lebih dikenal sebagia Pangeran Kornel, bersalaman yang ternyata disambut oleh pangeran kornel dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya memegang keris sehingga gubernur yang memiliki kebijakan kerja rodi dan dikenal kejam itupun terkejut dan menjadi lemah dalam menghadapi Pangeran Kornel.
Peristiwa itulah yang kemudian diabadikan menjadi nama jalan tersebut, yakni jalan Cadas Pangeran. Tahun pembuatannya diabadikan dalam prasasti batu marmer berhuruf Sunda yang terletak disalah satu di salah satu cadas jalan Cadas Pangeran, dan peristowa itupun dapat dilihat di patung yang ada di jalan tersebut.

Makam Tjut Nya’ Dien

Ada beberapa situs sejarah di Sumedang namun salah satu situs sejarah yang cukup terkenal adalah makam pahlawan nasional Tjut Nya’ Dien yang wafat tanggal 6 November 1908 dan dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga milik H. Husna. Tempatnya hanya beberapa ratus meter di sebelah selatan Kota Sumedang, tepat bersebelahan dengan kompleks pemakaman keluarga Pangeran Sumedang di Kampung Gunung Puyuh, Desa Sukajaya, Kecamatan Sumedang Selatan.
Pada mulanya tidak ada yang tahu jika lahan milik almarhum H. Husna ini merupakan makam Tjut Nya’ Dien. Bukan apa-apa, hal itu dikarenakan pada masa pengasingannya semenjak tahun 1905 pemerintah Belanda tidak pernah memberitahu identitas Tjut Nya’ Dien yang sebenarnya. Akhirnya masyarakat Sumedang saat itu mengenalanya sebagai guru ngaji yang bernama Nyai Prabu dari Seberang.
Menurut Nana Sukmana (60), juru kunci makam Tjut Nya’ Dien sejak tahun 1982 itu, ketika diasingkan Tjut Nya’ Dien hanya ditemani oleh seorang anak berusia 9 tahun yang bernama Teuku Nana. Dalam pengasingannya, Tjut Nya’ Dien tinggal di sebuah rumah panggung di Kampung Kaum, Kelurahan Regol Wetan, Kecamatan Sumedang Selatan,bersama keluarga Kiai Haji Ilyas dan Hajjah Solehah.
Rumah di belakang Masjid Agung Sumedang yang ditinggali Tjut Nya’ Dien berdasarkan saran Bupati Sumedang saat itu, Pangeran Aria Soeriaatmadja, masih tetap ada dan dihuni oleh keturunan Kiai Haji Ilyas.
Makam yang baru ditemukan pada tahun 1959 itu kemudian dipugar pada tahun 1987 ketika Gubernur Aceh dijabat Prof. Dr. Ibrahim Hasan. Renovasi makam itu membuat makam pahalawan nasional yang dikelilingi pemakaman keluarga Haji Husna menjadi berbeda.
Makamnya ditutup dengan marmer dan ditulisi dengan huruf Latin dengan bahasa Aceh dan juga huruf Arab. Selain itu makam tersebut juga diberi atap dengan gaya arsitektur khas Aceh, dan di komplek pemakamannya dipagar dan selalu dikunci rapat. Pada nisan itu pula tertulis nama Tjut Nya’ Dien dengan ejaan yang benar, karena menurut Nana tulisan yang ada di buku sejarah sekarang salah dan bisa jadi menyalahi arti yang sebenarnya.
Setelah renovasi di sekitar areal pemakamam dilakukan mantan Menteri Koperasi dan Kepala Bulog Bustanul Arifin yang juga asal Aceh menyumbang sebuah masjid dengan arsitek bangunan berbentuk rumah adat gadang di sebelah utara Makam Cut Nyak Dien.
Nana menuturkan, makam itu masih sering dikunjungi, baik warga Aceh maupun bukan. “Hampir semua pejabat Aceh pernah ke sini termasuk para prajurit GAM ketika masih memilih jalan senjata begitupun para anggota TNI yang akan menumpas gerakan separatis di Aceh”
Nana yang mengaku pekerjaannya sebagai juru kunci merupakan pekerjaan turun temurun dari kakeknya menuturkan “Ayah saya, Jaja, adalah orang yang mau membeberkan sejarah tentang Ibu Prabu dari Seberang bernama Cut Nyak Dien berikut perjuangan sejarahnya menjadi guru ngaji yang selalu diawasi Penjajah Belanda itu” sejak saat itu keluarga Jaja mendarmabaktikan diri menjadi juru kunci makam Tjut Nya’ Dien.

Goa Gunung Kunci

Selain makam Tjut Nya’ Dien, situs bersejarah lain yang bisa dikunjungi adalah Wana Wisata Gunung Kunci. Wana Wisata Gunung Kunci ini terletak di kelurahan Kota Kulon Kecamatan Sumedang Selatan Kabupaten Sumedang.
Di dalam Wana Wisata Gunung Kunci inilah ada sebuah goa dan benteng peninggalan Belanda. Untuk memasuki tempat wisata alam dan sejarah ini hanya dikenai biaya seharga Rp.1.500,00.
Gua dan benteng pertahanan yang diberi nama gua Gunung Kunci ini dibangun pada masa perang dunia I sekitar tahun 1914-1918. Karena lokasinya yang terlindung oleh hutan dengan vegetasi pinus merkusii maka pengelolaannya ada dibawah Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan Sumedang.
Gua ini berada di sebuah bukit, sehingga untuk mengunjunginya harus menyusuri jalan setapak yang cukup menanjak dan cukup licin jika terjadi hujan. Di bagian puncak bukit, ada tembok benteng yang berbentuk kapal motor dengan panjang kira-kira 70 meter dan 30 meter.
Di tengah-tengah benteng ada bangunan-bangunan kamar yang tersembunyi yang atapnya tertimbun tanah sedangkan dibagian bukit, terdapat bangunan bertingkat dua, dan beberapa tangga yang menurun menuju ke perut bukit.
Didalam bukit terdapat lorong-lorong gua sekitar sepanjang 200m, menghubungkan kamar-kamar dibawah tanah dan antara pintu masuk menuju kebagian benteng. Ada 17 buah gua diperut bukit ini kata Suyatna, karena ada perbedaan tinggi dihubungkan dengan lorong bertangga.
Bentuk kamar-kamar pada umumnya persegi panjang melengkung, terdapat pula dua ruangan yang berbentuk bulat seperti menara dengan garis tengah 3 meter, ruangan bulat ini letaknya tersembul keluar bukit dilengkapi lubang pengintai, tempat mancong senjata berat diletakkan.
Keadaan benteng saat ini memang kurang terawat. Bahkan ada bagian dinding yang nampaknya akan rubuh. Meskipun demikian ada beberapa fasilitas di kawasan wana wisata ini antara lain lapangan parkir, ruang informasi, mushola, bangku-bangku, shelter, kamar mandi dan WC, tempat bermain anak-anak, sarana atraksi yang berupa panggung terbuka dan lapangan adu domba, satwa langka dan kereta kayuh. Hanya saja fasilitas-fasilitas tersebut tidak terawat lagipula kawasan wisata ini jarang dikunjungi orang, yang sering datang hanya pelajar SMA atau SMP yang bergerombol dengan teman atau pacar masing-masing.
Bukan suatu hal rahasia jika kawasan wisata yang sejuk dan rindang karena banykanya pohon dijadikan tempat pacaran remaja maupun orang dewasa. Hanya saja jika berwisata kesana ada baiknya untuk membawa sendiri bekal makanan dan minuman karena tidak ada penjual makanan atau minuman yang ada disana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar